BELAJAR DARI GERHANA
BISMILLAAHIIRRAHMAANIIRRAHIIM
“Maha
suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa
yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka mau pun dari apa yang tidak
mereka ketahui. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah
malam, Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka
berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan ditempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah kami
tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin
bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya”. (Q.S.
Yaasin 36:36-40).
Nalar Keagamaan
Bangsa Indonesia itu
penduduknya beragama dan mayoritas Muslim. Dalam kartu tanda penduduk (KTP)
bahkan tercantum identitas agama yang khas Indonesia dan tidak perlu mengikuti
jejak negara lain atas nama demokrasi atau hak asasi manusia model apa pun.
Keberagaman sama sekali tidak menandakan ketertinggalan dan aura modernisme atau
kemajuan dari bangsa ini, bahkan sebaliknya harus menjadi fondasi menghadapi
situasi zaman apa pun.
Ketika GMT terjadi,
bukan hanya kegembiraan dan dimensi wisata yang meluas di ruang public, pun
shalat gerhana di seluruh sudut negeri, baik yang mengalami GMT maupun gerhana
sebagian. Agama Islam pun bukan sekedar mengajarkan spiritualitas dan
moralitas, bahkan ilmu hisab sebagai penanda kemajuan dan kebudayaan iqra
sehingga mampu mengetahui kapan gerhana dan banyak peristiwa astronomi lainnya
bakal terjadi.
Pemandangan tersebut
menunjukkan letaknya religiusitas dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
memerlukan pemeliharaan dan peneguhan. Sungguh, agama bagi bangsa Indonesia
merupakan sumber nilai penting dan menyatu dalam denyut nadi kehidupannya. Baik
agama dalam dimensi akidah, ibadah, akhlak, mau pun muamalah dan keilmuan,
semua mengajarkan nilai-nilai utama kehidupan yang mencerdaskan, mencerahkan,
dan memajukan.
Fakta sosiologis ini
bagi bangsa Indonesia meniscayakan sistem hukum, politik, ekonomi, dan sosial
budaya yang berkembang tidak boleh menegaskan agama dan aspirasi umat beragama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lebih-lebih agama yang
ditompang pancasila sebagai filsafat dasar bangsa dan Negara yang menyatu dalam
alam pikir umat beragama. Sehingga negeri ini dengan segala ruang public yang
terdapat di dalamnya tidak boleh mangalami sekulerisasi dan liberalisme yang
menjauh dari nilai-nilai agama dan pancasila.
Ketika masyarakat
dihebohkan oleh soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT),
lokalisasi prostitusi dan hal-hal sejenis, jika dikembalikan pada nilai luhur
agama dan pancasila yang melekat dalam denyut nadi bangsa, persoalan tersebut
sebenarnya cukup jelas untuk diposisikan. Agama dan falsafat dasar bangsa dan
BELAJAR DARI GERHANA |
BISMILLAAHIIRRAHMAANIIRRAHIIM
“Maha
suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa
yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka mau pun dari apa yang tidak
mereka ketahui. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah
malam, Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka
berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan ditempat peredarannya.
Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah kami
tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin
bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan
masing-masing beredar pada garis edarnya”. (Q.S.
Yaasin 36:36-40).
Nalar Keagamaan
Bangsa Indonesia itu
penduduknya beragama dan mayoritas Muslim. Dalam kartu tanda penduduk (KTP)
bahkan tercantum identitas agama yang khas Indonesia dan tidak perlu mengikuti
jejak negara lain atas nama demokrasi atau hak asasi manusia model apa pun.
Keberagaman sama sekali tidak menandakan ketertinggalan dan aura modernisme atau
kemajuan dari bangsa ini, bahkan sebaliknya harus menjadi fondasi menghadapi
situasi zaman apa pun.
Ketika GMT terjadi,
bukan hanya kegembiraan dan dimensi wisata yang meluas di ruang public, pun
shalat gerhana di seluruh sudut negeri, baik yang mengalami GMT maupun gerhana
sebagian. Agama Islam pun bukan sekedar mengajarkan spiritualitas dan
moralitas, bahkan ilmu hisab sebagai penanda kemajuan dan kebudayaan iqra
sehingga mampu mengetahui kapan gerhana dan banyak peristiwa astronomi lainnya
bakal terjadi.
Pemandangan tersebut
menunjukkan letaknya religiusitas dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
memerlukan pemeliharaan dan peneguhan. Sungguh, agama bagi bangsa Indonesia
merupakan sumber nilai penting dan menyatu dalam denyut nadi kehidupannya. Baik
agama dalam dimensi akidah, ibadah, akhlak, mau pun muamalah dan keilmuan,
semua mengajarkan nilai-nilai utama kehidupan yang mencerdaskan, mencerahkan,
dan memajukan.
Fakta sosiologis ini
bagi bangsa Indonesia meniscayakan sistem hukum, politik, ekonomi, dan sosial
budaya yang berkembang tidak boleh menegaskan agama dan aspirasi umat beragama
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lebih-lebih agama yang
ditompang pancasila sebagai filsafat dasar bangsa dan Negara yang menyatu dalam
alam pikir umat beragama. Sehingga negeri ini dengan segala ruang public yang
terdapat di dalamnya tidak boleh mangalami sekulerisasi dan liberalisme yang
menjauh dari nilai-nilai agama dan pancasila.
Ketika masyarakat
dihebohkan oleh soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT),
lokalisasi prostitusi dan hal-hal sejenis, jika dikembalikan pada nilai luhur
agama dan pancasila yang melekat dalam denyut nadi bangsa, persoalan tersebut
sebenarnya cukup jelas untuk diposisikan. Agama dan falsafat dasar bangsa dan
0 komentar:
Posting Komentar